I'm on Sinar Harapan Daily News

Friday, January 15, 2010

Kolom Budaya:Mengasong Sastra di Kemacetan Jalanan



seekor kucing kurus menggondol ikan asin
lauk makanku malam ini hap kuambil sebilah pisau Akan kubunuh kucing itu
meong…
eh..dia tak lari meong…
malah memandangku tajam dengan matanya
meong…
tanganku yang memegang pisau bergetar
aku melihat diriku pada kucing ini
akhirnya kami berbagi kuberi dia kepalanya dan aku badannya
akhirnya kami makan bersama tentu saja dari piring yang berbeda
(puisi seorang pengamen puisi di bus kota yang dibawakan dengan sangat atraktif. Konon puisi ini diciptakan oleh sang pembaca dengan teman-temannya)


Bermula karena uang, kota-kota besar selalu mempunyai dinamika yang tinggi. Pergerakan manusia yang ada di dalamnya begitu mobil. Akibatnya, banyak peluang dipaksa tercipta.
Setiap sudut yang tercecer dimanfaatkan dengan bermacam kreativitas, meski terkadang naif. Sisi kosong trotoar, halte, bawah jembatan layang jalan tol, taman kota, dan banyak ruang kosong lainnya menjelma lahan bisnis yang terus berkembang pesat. Bis kota pun bertambah fungsi sebagai kotak sumbangan berjalan yang banyak diincar pemburu belas iba.
Pengasong, pengemis, panitia pembangunan rumah ibadah, pengelola panti asuhan dan lembaga sosial lainnya, orang yang terkena bencana, semisal kebakaran dan sakit, napi insaf, mahasiswa kekurangan dana, dan seniman jalanan, berebut menggaet iba bahkan tak jarang menggertak dan memaksa mereka yang dianggap berlebih.

Perkembangan Pengamen

Padahal perambah awal bis kota, semula hanyalah pengamen atau pemusik jalanan. Memang, musik jalanan sudah dikenal dan berkembang sejak abad pertengahan, terutama di Eropa. Pada saat musik Eropa berkembang pesat lewat penyebaran agama Kristen.
Kendati bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu adalah berdasarkan dasar-dasar pengetahuan musik Yunani, lewat gereja bentuk dasar itu dikembangkan selaras dengan perkembangan seni drama, seni rupa dan sastra. Bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu, akhirnya dikenal sebagai liturgi (latin: doa dalam bentuk nyanyian)
Di luar gereja, muncul jenis musik yang agak liar dan mempunyai tema yang luas yang oleh kalangan gereja disebut sebagai musik duniawi. Musik ini berkembang, umumnya dibawa oleh para musafir atau pengelana. Mereka menggunakan alat musik sederhana dan praktis, biasanya alat musik berdawai semacam gitar.
Musikus pengembara berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengelilingi negeri sambil bernyanyi. Mereka mendapatkan upah atau imbalan dari para penikmat musiknya. Di Prancis, mereka disebut ”troubadour”, dan di Jerman, ”minnesaenger”. Sampai saat ini, budaya semacam itu masih banyak dilakukan kaum Gypsi yang berada di daerah Spanyol.
Di Indonesia sendiri, masuknya budaya musik dibawa bangsa Portugis, dan budaya mengamen sudah ada sejak abad ketiga belas, saat kejayaan kerajaan Kediri atau Kahuripan. Saat itu, sudah dikenal rombongan kesenian musik berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan menghibur lewat syair atau pantun yang berisi dongeng Panji.
Mereka akrab dengan sebutan ”dalang kentrung”. Keberadaan mereka terkadang dianggap sakral oleh masyarakat yang dilewatinya karena apa yang mereka lantunkan tidak sekadar hiburan, tetapi terkadang merupakan nasihat, isyarat, bahkan ramalan masa depan dari situasi yang terjadi.
Berbeda dengan pemusik jalanan di masa sejarah, pengamen zaman sekarang lebih banyak terorientasi pada kesulitan ekonomi semata. Nilai kesakralan yang semula dimiliki pengamen pendahulu semakin mengabur.
Jangankan bisa dianggap sakral untuk bisa dikatakan estetik pun tak banyak pengamen yang memenuhinya. Mereka tak lagi melakukannya secara profesional.
Dengan alat musik seadanya, bahkan sekadar tepuk tangan dan suara yang fals mereka berani unjuk suara. Citra pengamen berubah menjadi sekadar strategi mencari uang di tengah keterdesakan, mekipun kreativitas lagu dan cara mengamen yang mereka bawakan semakin berkembang.

Mengamen Sastra

Yang menarik, pengamen yang semula hanya memainkan lagu-lagu populis dan lagu khas mereka sendiri, mulai berani memusikalisasi puisi. Memang tentang musikalisasi puisi ini masih ada beberapa pendapat yang berbeda.
Pertama, pendapat bahwa musikalisasi puisi adalah membacakan puisi dengan diiringi oleh musik. Jadi musik di sini sebagai background saja, tak lebih. Mulai banyak pengamen yang melakukan ini.
Pun pendapat kedua bahwa musikalisasi puisi adalah puisi yang dimusikkan. Artinya, ada semacam kreativitas yang digulirkan sehingga pencipta musikalisasi puisi harus mempunyai kemampuan yang lebih dalam memosisikan gagasan antara puisi dengan musik yang akan dikolaborasikan mampu tercipta di kalangan pengamen. Ada beberapa pengamen yang mampu membawa puisi-puisi sastrawan terkenal maupun karya mereka sendiri dalam kreativitas yang cukup mengesankan.
Yang tak begitu bisa kita lihat pada fenomena pengamen ini adalah pendapat ketiga, bahwa musikalisasi puisi adalah musik yang diilhami oleh puisi. Artinya, di sini puisi hadir secara konkret, akan tetapi bermetamorfosis menjadi sebuah alunan musik. Kita tak bisa tahu apakah ada pengamen yang melakukan ini.
Bagaimanapun juga puisi yang telah bermetamorfosis menjadi alunan musik tak gampang lagi kita kenali apakah diilhami oleh puisi ataukah tidak, kecuali mereka mengatakannya sendiri. Seperti halnya Dewa, Padi, atau KLA Project yang jelas-jelas menyatakan bahwa lagu-lagu mereka diilhami oleh puisi-puisi Kahlil Gibran dan Jalalludin Rumi.
Tak berhenti pada musikalisasi puisi, pengamen dalam bis kota semakin berani mendekati dunia sastra. Mereka mulai berani membawakan puisi tanpa musik. Sekadar membacakan tanpa iringan musik. Terkadang cukup dengan ekspresi teatris yang lumayan inovatif, seperti yang penulis lihat ketika seorang pengamen membawakan sajak ”Ikan Asin, Kucing, dan Aku” di atas.

Untung Rugi
Kini, mengamen puisi, mengasong sastra pada sesak bis kota semakin marak. Manfaat dan kerugian pun mulai tercipta, meskipun mungkin selambat bis kota tua yang bertahan di panasnya kemacetan Jakarta.
Lahir bentuk baru sastra-sastra asongan. Sastra asongan dijajakan pengamen di sela-sela keringat penumpang, diual tanpa harga paten. Cukup recehan sisa tarif bis atau semahal nilai iba yang ada di kantong hati. Tak perlu tawar-menawar. Cuma sedikit ancaman jika preman yang menjajakan.
Di satu sisi, tercipta sebuah bentuk sosialisasi sastra yang cukup efektif. Sebuah sistem sosilisasi sastra yang efisien, ramah, dan murah. Ranah sastra terdesak kesibukan hidup terpaksa hadir di sela-selanya. Menyeruak tanpa bisa ditolak. Tak perlu menumpang pada media edisi mingguan, atau pusat-pusat kesenian dan kebudayaan yang jauh dari jangkauan.
Sastra asongan selalu mampu hadir selama bis kota masih dibutuhkan. Tentu saja selama pengamen tidak dikejar-kejar petugas ketertiban umum.
Sayangnya kualitas sastra asongan masih jauh dari standar. Sastra yang seharusnya mampu menjadi hiburan di tengah kesuntukan, katarsis di tengah kegalauan, bahkan otokritik di tengah kelalaian, malah terlempar sebagai keluh kesah keputusasaan, jerit ketidakberdayaan, bahkan gangguan di tengah kelelahan.
Bukannya menjadi media pengenal dan pengakrab, pengamen sastra justru semakin menjauhkan sastra yang sudah tersisih dari masyarakat yang dikejar kesibukan mencari uang. Bisa-bisa muncul suatu image, ”sastra identik dengan kemiskinan”. Meskipun pada kenyataannya, Rendra, Putu Wijaya, Ayu Utami, Dewi Lestari, Sapardi Djoko Damono, dan banyak sastrawan lainnya tak bisa dibilang miskin.
Negatif ataupun positif, sastra asongan telah lahir. Kita terlambat untuk sekadar mengaborsinya. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana sastra asongan ini mampu membawa dampak-dampak yang positif bagi perkembangan sastra.
Tentunya perlu kepedulian dari banyak pihak. Sastrawan-sastrawan sukarelawan yang mau meluangkan waktunya membantu pengasong-pengasong sastra itu, agar mampu menjajakan sastra dengan kualitas maksimal.
Dengan begitu, sastra asongan mampu menjadi katalis kembalinya kedekatan sastra pada masyarakatnya. Sastra asongan tak lagi identik dengan kemiskinan.
Dan kita bisa membiarkan, Arnold Bennet yang menulis dalam buku hariannya, merasa menyesal dengan penyataan: ”pekerjaan seorang sastrawan hanyalah untuk memuaskan diri sendiri, untuk mencari pujian serta penghargaan. Tetapi, saya tidak mempedulikan semua itu. Saya akan menjadi penilai karya-karya sendiri.
Benar atau salah, saya akan tetap puas sebagai sastrawan. Saya tidak akan disukai kalau saya tidak berhasil mendapatkan uang banyak”. Karena sastra asongan mampu disukai, meskipun hanya berhasil mendapatkan uang recehan.

Penulis adalah peminat dan pemerhati budaya, pelanggan setia bus-bus kota di Jakarta.

Kolom Budaya:Mengasong Sastra di Kemacetan Jalanan

Monday, April 24, 2006

Kolom Budaya


Tren Perjuangan Perempuan dalam Sastra
Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan Tersamar


Oleh R. SUGIARTI

Hari perempuan sedunia yang jatuh tanggal 8 Maret lalu diperingati dengan cukup provokatif. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat perempuan di Jakarta menuntut pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan hak dan kesejahteraan perempuan (SH, 9 Maret 2002). Bulan ini, perempuan Indonesia pun merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahun. Esensi kedua hari penting bagi perempuan adalah sama: memperjuangkan hak-hak perempuan di segala bidang.
Lalu bagaimana perjuangan perempuan di bidang sastra? Ternyata telah muncul fenomena pemberontakan perempuan dalam sastra yang bisa kita sebut spektakuler.
Selama ini, jumlah buku sastra Indonesia boleh dibilang sangat sedikit, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Lebih parahnya lagi, karya fiksi yang sedikit ini tak banyak yang mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian publik. Hingga akhirnya muncul Ayu Utami dengan Saman dan Larung-nya serta Dewi Lestari dengan Supernova.

Membakar Kebekuan
Fiksi sastra yang ditulis kedua pengarang perempuan ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks, mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar. Lalu apa resep mereka dalam mendobrak kebekuan sastra selama ini?
Yang jelas, salah satu kesamaan menonjol dari sisi feminisme kedua novelis perempuan ini adalah keberanian mereka dalam mengemas cinta dan seks dalam bungkus yang benar-benar berbeda. Mereka berani melawan tabu yang selama ini menjadi magma terpendam pada masyarakat yang sarat dengan konvensi-konvensi budaya. Seks menarik justru karena melanggar kenormalan dalam masyarakat tradisional. Melalui perlawanan terhadap tabu ini, mereka meretas fenomena kekerasan tersamar terhadap perempuan, terutama dalam hal seks.
Kehadiran buku-buku ini bagai oase bagi masyarakat yang ”kepanasan” oleh etika timur yang kuat tetapi tak berani melawannya secara frontal. Mengalir deras di tengah masyarakat yang dilanda proses diseminasi sosial yang semakin cepat. Beradaptasi dengan terjadinya proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial tanda, citra, informasi, dan benda-benda komoditas, khususnya yang bermuatan erotis.
Tanpa disengaja mereka menolak tegas kultur yang menekan eksistensi seks perempuan timur sekaligus mengejek terma dalam masyarakat komoditas, di mana tubuh (body), tanda-tanda tubuh (body signs) serta potensi libido di balik tubuh (libidinal value) menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya komoditas, yang membentuk semacam sistem libidonomics yaitu sebuah sistem ekonomi yang mengeksploitasi setiap potensi libido, semata untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Mereka mampu merepresentasikan seks sebagai eksistensi keperempuanannya, bukan sebagai komoditas masyarakat kapitalis semata.

Eksistensi Seks
Dalam Larung, Ayu menunjukkan keberanian dalam bercerita tentang eksistensi seks perempuan, lewat diary tokoh Cok, tahun 1996: ”Cerita ini berawal dari selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar” (hal.77).
Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya bertualang di negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual sang tokoh pada kultur yang membesarkannya. Mungkin karena Amerika–lah yang dianggap negeri yang mampu mewakili representasi eksistensi seksual perempuan. Di mana industri seks-nya melimpah, bahkan ada jenis komoditi yang menjanjikan seks-seks ilegal, bahkan abnormal semisal bondage sadomasochis (seks sadis), voyeurism (ngintip), amateur, mature dan older (orang bangkotan), sampai surveillance sex (dokumentasi seks orang-orang biasa)
Problema-problema seks perempuan, yang selama ini menjadi endapan dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Tokoh Yasmin—yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami—kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas frater.
Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Lukas lebih tertarik pada eksplorasi posisi fisik daripada eksplorasi relasi psikis seperti yang dikhayalkan Yasmin. Padahal Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Melokalisasinya pada fantasi seksual. ”Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan seksualitas terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetis.” (hal. 160)
Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap laki-laki ini. ”…Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia mengintrogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu atau membiarkan kamu tersiksa tak memperolehnya. Membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harfiah.” (hal. 157)
Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami. Hanya saja, seks yang digambarkan Ayu bukanlah teknik persetubuhan melainkan pemaparan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita.
Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan sang lelaki bermasturbasi dengan payudaranya. ”… tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. …Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? …Aku pun melakukannya, senggama.”
Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan lain-lain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya lelaki. Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis.
”…tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada dirinya.” (hal. 118)
Ternyata supremasi itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga —seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia—justru menjadi problema. Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya.
Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang androgini dimunculkan Ayu secara estetis sebagai representasi kebebasan untuk memilih. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar-benar diabaikan.
Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Tala bukanlah seorang androgini yang maniak. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. ”…Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut. …Kupeluk kamu. Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemani lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.” (hal. 153)
Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia dilakukan Ayu dengan metafora yang sangat indah.

Jebakan Politik Tubuh
Memang keberanian Ayu Utami dalam Saman dan Larung, juga Dewi Lestari dalam Supernova-nya, bisa menjerumuskan mereka dalam jebakan politik tubuh (body politics), yang terurai dalam tiga terma.
Pertama, ”ekonomi politik tubuh” (political economy of the body) yaitu bagaimana tubuh digunakan dalam berbagai kerangka relasi sosial dan ekonomi, berdasarkan konstruksi sosial atau ”ideologi” tertentu. Persoalan politik tubuh berkait dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi-politik, dilihat dalam berbagai relasi sosial.
Kedua, ”ekonomi politik tanda (tubuh)” (political economy of signs) yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem ekonomi pertandaan (sign system) masyarakat informasi yang membentuk citra, makna, dan identitas tubuh di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh (pria atau wanita) yang dieksploitasi sebagai tanda atau komoditas tanda (sign comodity) dalam berbagai media.
Ketiga, ”ekonomi politik hasrat” (political economy of desire) yaitu bagaimana sistem ekonomi menjadi sebuah ruang berlangsungnya pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan, dan penyalurannya lewat berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi). Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan sifat-sifat irasionalitas hasrat.
Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah sebuah ”budaya ekonomi”, yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi.
Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra tubuh”.
Bisa jadi ekspresi kebebasan dua perempuan pengarang ini dijadikan media penumpahan keliaran libido laki-laki. Ekspresi perlawanan terhadap kekerasan tersamar dalam ranah seks perempuan, justru menjadi perangsang laki-laki untuk membacanya. Bukan untuk menyelami ketertekanan perempuan tapi sebagai media eskapisme erotisme otak mereka.
Namun, memang tak gampang meretas kultur yang telah tertanam kuat. Yang jelas, setidaknya mereka berdua telah memulainya dan berhasil menarik perhatian publik. Setapak langkah perbaikan telah dimulai dari dunia sastra.

Penulis adalah Relawan pada UNICEF Indonesia, Pengamat Perempuan & Budaya.

Kolom Iptek


Komik ”Archi dan Meidy”
Upaya Memperkenalkan Iptek pada Anak-anak


Oleh ROKHMAH SUGIARTI

Gencarnya pertumbuhan komik dunia, berimbas pada perkembangan komik di Indonesia. Terhitung lebih dari 90 persen komik yang beredar di Indonesia merupakan komik buatan luar negeri. Akibatnya, perbedaan kebudayaan acapkali membuat komik memberikan pengaruh buruk terhadap pembacanya. Apalagi pembaca komik di Indonesia sebagian besar adalah anak-anak. Padahal banyak komik luar negeri, khususnya yang memuat kekerasan dan pornografi, memang bukan ditujukan untuk anak-anak.
Perkembangan komik Indonesia dari segi kualiatas memang menyedihkan. Namun tidak dalam segi kuantitas. Pembaca komik semakin hari malah semakin bertambah. Jarak umur untuk pembaca komik juga semakin luas. Karena sifatnya yang menghibur, komik dinilai sebagai sarana yang cocok untuk menyampaikan suatu pesan. Terutama anak-anak yang akan lebih mudah untuk membaca komik dibandingkan membaca buku pelajaran.
Beranjak dari fenomena inilah, seorang doktor di bidang ilmu fisika, Yohanes Surya, berniat membuat sebuah komik ilmu pengetahuan. Menurut laki-laki yang saat ini menjabat Presiden TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) itu, komik sebenarnya merupakan sarana yang paling baik untuk mendidik anak-anak. Hanya saja, komik yang beredar di Indonesia, masih banyak yang kurang mendidik. Akibatnya, tanggapan orang tua dan masyarakat terhadap komik di Indonesia sangat negatif dan potensi edukasi komik pun diabaikan.
Berangkat dari pengetahuan dan pengalamannya bahwa fisika itu mengasyikkan karena berbagai hal yang terjadi di sekeliling manusia dapat dijelaskan secara pengetahuan, Yohanes menganggap komik merupakan media pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang potensial. Komik menjadikan IPA bisa dikemas secara populer.
Ide untuk memunculkan komik ilmu pengetahuan ini akhirnya terealisasi setelah Yohanes Surya bertemu penerbit Megindo yang menelurkan majalah Gamestation, Animonster, dan Cinemags dan tertarik dengan gaya ilustrasi gambar di majalah ini. Megindo yang konon juga mempunyai tekad hendak memajukan perkomikan di Indonesia, menyambut baik ide kerja sama tersebut.
Dibantu oleh tim komik dari Megindo Tunggal Perkasa, Wendy Chandra, MsBA sebagai pembuat cerita serta karakter serta Lee Julian sebagai ilustrator maka dimulailah proses pembuatan. komik pendidikan tentang IPA yang rencananya akan terbit secara berkala dengan topik berbeda setiap seri.

Komik Pendidikan
Komik yang diberi nama ”Serial Misteri Ilmu Pengetahuan, Archi & Meidy” ini sekaligus menjadi komik pendidikan pertama di Indonesia.
Komik ”Archi & Meidy” merupakan komik yang bernuansa pendidikan dan sains. Bercerita tentang petualangan Archi dan Meidy, dua anak kembar yang selalu berusaha memecahkan misteri di sekeliling mereka dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
Tokoh utama mereka, Archi dan Meidy diceritakan bahwa mereka dilahirkan oleh sebuah keluarga bahagia dengan ibu seorang desainer dan mantan peragawati. Ayah mereka seorang arsitek. Mereka adalah kawan baik dari Prof.Yosu yang mengajar di SDN 1000. Ketika Archie dan Meidy lahir, Prof. Yosu diberi teka-teki untuk menentukan mana Archi dan Meidy yang beratnya hanya berbeda sedikit. Dengan kejeniusannya, Prof. Yosu berhasil memecahkan persoalan ini dengan hukum Archimedes. Jadilah nama anak itu Archie dan Meidy.
Komik ini berisikan penggalan-penggalan cerita kisah Archi dan Meidy. Tiap cerita berisikan satu konsep IPA. Melalui dialog-dialog yang khas dari Archi dan Meidy, pada tiap penggalan cerita, para pembaca secara tidak sadar dibawa untuk belajar konsep-konsep IPA. Secara tidak sadar pembaca akan menyukai IPA dan diharapkan IPA tidak akan menjadi momok lagi, tetapi dapat dijadikan sahabat sehingga para pembaca terutama para siswa SD dan SMP semakin menyukai IPA.
Pada edisi pertama ini, konsep IPA yang diberikan berkisar sekitar air yaitu sifat-sifat air seperti selalu mencari tempat yang rendah, tegangan permukaan, hukum Archimedes serta hukum-hukum fisika lainnya.
Kisah petualangan ”Archi & Meidy” edisi pertama ini diterbitkan dengan tebal 128 halaman ditambah sisipan mini poster. Di setiap seri komik yang terbit, rencananya selalu ada bonus cerita tambahan, yaitu Archi Meidy yang sudah beranjak dewasa. Cerita di sini lebih bersifat science fiction tapi masih tetap mengandalkan rahasia-rahasia fisika. Archi dan Meidy di sini sudah berusia 22 tahun. Mereka bakal mengarungi dunia masa depan yang serba canggih. Namun kecanggihan dunia, tidak akan bisa menolak bencana alam yang juga dibuat oleh manusia sendiri. Nah, tugas Archi dan Meidy adalah menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Buku pertama ini masih merupakan tahap perkenalan. Kasus-kasus yang dipecahkan Archi dan Meidy masih ringan. Jadi pembaca bisa lebih mengenal karakter yang ada di buku ini.
Alur cerita yang akan dituangkan di buku ”Archi & Meidy” volume dua dan seterusnya adalah kasus-kasus misteri yang berdasarkan hukum fisika, dan juga persaingan Prof. Yosu dari SDN 1000 dan Prof. Adolf dari SDN 1011. Dua ahli fisika dari dua sekolah yang bersaing mendidik murid-muridnya menjadi juara IPA nasional. Namun Prof. Adolf sering menggunakan cara-cara tidak semestinya. Nah, di sini Archi dan Meidy sering membantu Prof. Yosu dalam menanggulangi segala masalah. Tentunya dengan logika dan teori IPA yang mampu menambah wawasan pembaca terutama kalangan anak-anak.

Belum Indonesia
Komik ”Archi & Meidy” memang merupakan komik pendidikan pertama di Indonesia. Namun dilihat dari sisi gaya komik yang memilih gaya Manga —komik dengan karakter tokoh bermata besar— yang merupakan gaya komik Jepang, tentunya komik ini masih belum bisa dibilang benar-benar Indonesia. Mungkin akan lebih mengindonesia jika dipilih gaya komik lampau Indonesia seperti gaya Jan Mintaraga atau yang lainnya.
Meski begitu, pemilihan gaya yang meniru gaya Jepang tersebut justru menguntungkan. Pasalnya, anak-anak Indonesia sekarang telanjur menggemari gaya komik Manga. Gaya komik yang mirip dengan Komik Jepang yang mendominasi 60 - 80 persen komik yang ada di pasaran membuat komik ini tak diabaikan. Anak-anak yang mengira komik ini sebagai komik yang biasa mereka baca menjadi cepat akrab. Tentu saja harapan yang bagus bisa muncul dari sini. Terbukti, 30.000 eksemplar komik ”Archi & Meidy” sudah habis di pasaran.

Penulis adalah pemerhati pendidikan, bekerja sebagai volunteer di UNICEF Indonesia.